Jumat, 11 Februari 2011

tangis nelayan cina

Dua hari lagi Imlek, gemetar Hsu Chi berjalan dan duduk di hadapan cermin usang, matanya cukup rabun untuk bisa melihat bayang dirinya. Tersamar wajah keriput, kurus dengan alis yang memutih. Beberapa saat kemudian bulir air matanya tak terasa mengalir membasahi pipi tuanya. Untuk kesekiankalinya dia mengenang dan meratapi diri dan entah sampai kapan semua itu akan ia akhiri. “Aku hanya nenek tua korban sejarah, sejarah telah mencampakkanku dan menelantarkanku hingga kini. Masa mudaku telah dihinakan bagai binatang, keluargaku diperlakukan bagai tikus-tikus got yang seharusnya diracun dan dicincang. Aku tak tahu bagaimana meneruskan hidupku yang semakin tersengal-sengal kini, diantara saksi sejarah yang kini sudah mencibir hina padaku”.


Masih lekat dalam ingatan Hsu Chi ketika bapaknya diseret-seret Belanda menuju lapang Dewan Kotapraja atau College van Scepen. Mata Hsu Chi terbelalak ketika kepala bapak tersayang menggelinding memuncratkan darah segar akibat sebuah pancungan. Meskipun tuduhan bahwa bapak masih termasuk anggota pergerakan rakyat Cina amat sangat tidak bisa dibuktikan. Bukankah pemberontakan rakyat Cina kepada Kolonial Belanda pada Tahun 1740 itu sudah sangat lama terjadi, kini sudah tiga bulan memasuki Tahun 1935. Belum tuntas kesedihan itu, Tahun 1943 ketika Jepang telah menculik dan memaksa Hsu Chi melayani nafsu setan mereka, dijadikan Jugun Ianfu. Hsu Chi berteriak merasakan amat lelah dan pedih menerima pemerkosaan bertahun-tahun, umurnya baru belasan tahun. Terkadang Hsu Chi ingin menyayat wajahnya agar terlihat jelek hingga tentara Jepang akan membuang atau membunuhnya saja. Hsu Chi selalu bertanya mengapa ia berparas cantik dan akibat kecantikan itu ia hidup dengan perlakuan yang menjijikkan seperti ini.

Hsu Chi masih tersedu-sedu lemah, ia kini bisa bertahan hidup karena cinta tulus Bang Jali, dulu Bang Jali yang telah menyelamatkannya dari cengkraman Jepang. Ketika itu Bang Jali bekerja sebagai pelayan pada Markas Logistik Tentara Jepang di Batavia pada gedung yang sama ketika bapak dipancung Belanda, Gedung College van Scepen yang kini Museum Fatahillah. Malam itu tubuh mulus Hsu Chi sedang ditindih tubuh tambur seorang komandan Jepang, tiba-tiba Bang Jali menyelinap memasuki kamar dan mengambil Samurai Komandan, secepat kilat ia hujamkan samurai itu ke punggung sang komandan. Dengan tubuh yang masih telanjang Hsu Chi dilarikan Bang Jali menyelinap diantara rerimbunan pohon Jarak. Rupanya Bang Jali sudah mempersiapkan rencana itu, ia menyuruh Hsu Chi memakai seragam tentara Jepang yang ia curi tadi siang di barak tentara. Bang Jali pun demikian, ia mengenakan seragam tentara Jepang lengkap. Cukup cerdik rupanya Bang Jali dengan berpura-pura berteriak mengejar penyusup yang masuk, ia bersama Hsu Chi berlari keluar markas. Baru setelah mereka berdua tidak kembali, keadaan markas geger karena sang komandan ditemukan tewas terhunus samurai.

Di masa dijadikan Jugun Ianfu, berkali-kali ia harus menenggak ramuan rahasia agar ia tidak hamil selesai pemerkosaan mengenaskan itu terjadi setiap harinya. Rahim Hsu Chi menjadi rusak dan kering. Hsu Chi dan Bang Jali sulit mempunyai keturunan, berkali-kali Hsu Chi alami keguguran. Perasaan Hsu Chi hampir putus asa menerima itu semua, ia dan Bang Jali harus hidup hanya berdua tak ada anak yang bisa menyambung keturunan mereka. Benar-benar menyakitkan dirasakan Hsu Chi.

Meski fajar masih enggan muncul di ufuk timur, gelap masih temani embun membasahi layar-layar kumuh pada deretan perahu tradisional di Muara Angke, para nelayan dengan sigap telah merapatkan perahunya di dermaga. Perjuangan malam tadi di lautan lepas menghasilkan tangkapan ikan yang bisa menghidupi mereka untuk dua hari ke depan. Hidup bagi mereka adalah murni berjuang dalam lingkaran maut yang sewaktu-waktu bisa merenggut mereka di samudera nan luas dan kejam. Hsu Chi melihat Kong Jali renta membantu awak perahu lainnya memilah-milah ikan. Terkadang Kong Jali hanya bisa mencatat hasil timbangan masing-masing ikan hasil tangkapan bersama, tenaganya sudah tidak mampu lagi jika harus mengangkat keranjang-keranjang ikan. Kong Jali bersyukur masih ada sesama nelayan yang memperbolehkan dia ikut bergabung dalam satu perahu. Hsu Chi tersenyum ketika Kong Jali menghampirinya sembari membawa sepotong badan ikan tuna dan beberapa uang ribuan. Mereka berjalan perlahan pulang menuju gubuk mereka tak jauh dari dermaga. Gubuk tua itu tak lain harta satu-satunya mereka walau berada di pinggir dermaga yang kotor dan bau amis, sesekali semilir bau bangkai ikan menggoda penciuman mereka.

Seperti biasa sudah pukul 10.00 melewati pagi, hiruk pikuk dermaga semakin disibukkan dengan pekerjaan khas para nelayan. Sesekali pekik Burung Elang pantai berebut sisa ikan busuk yang tercecer di pinggir dermaga. Hsu Chi bersama Kong Jali membawa jaring sederhana ke tepi pantai. Mereka mencari ikan-ikan kecil dan kerang hijau. Mereka sebenarnya tahu jika sekarang sudah amat sulit menjaring ikan-ikan kecil tersebut karena sampah sudah mengotori pantai. Air laut di pantai sudah semakin keruh karena limbah sampah, kerang hijau pun sudah enggan hidup di pasir pantai yang tercemar. Mereka setiap hari hanya bisa berharap dan berdoa semoga sang pencipta memberikan ridzkinya untuk menyambung nafas mereka. Biarlah tenaga renta mereka mengais-ngais karunia dalam air keruh dan pasir yang berbau sebab hanya pekerjaan ini yang bisa Hsu Chi lakukan bersama suami tercinta di usia renta mereka.

Tak ada perayaan setiap imlek menjelang, hanya kesedihan Hsu Chi mengenang semua penderitaannya. Terkadang Hsu Chi tersenyum di tengah derai air matanya ketika teringat akan masa-masa bahagianya sewaktu kecil. Itu hanya sesaat, teramat singkat kebahagiaan itu menyapanya. Kong Jali memeluk Hsu Chi dalam keremangan malam, ia berbisik : “Menangislah dalam dekapanku, meski badan rentaku sudah tak cukup kuat dan hangat memelukmu namun cinta dan sayangku semakin besar kepadamu. Aku tak hiraukan masa kelammu, semakin aku tahu itu semua semakin aku akan menyayangimu hingga akhir hayatku nanti. Lupakan kekejaman dunia ini, biarkan kesedihanmu larut dalam badai cintaku padamu”.

***

Aku berpamitan pada mereka, dua hari aku mengamati dan mewawancarai mereka. Kisah kehidupan mereka layak diangkat dan dijadikan renungan bagi semua pihak. Nasib para Jugun Ianfu semestinya mendapatkan perhatian pemerintah dan pihak terkait. Tak layak jika mereka hanya diberikan cibiran bukan perawatan yang manusiawi, bukankah yang mereka alami semua itu tidak mereka inginkan. Aku mendapatkan pengalaman berharga, kehidupan bisa kita rancang namun sang penciptalah yang memilihkan posisinya dimana kita harus berada. Dimanapun posisi kehidupan itu kita senantiasa harus bersyukur dan menjunjung tinggi rasa sayang dan cinta kasih.

*****


share on facebook

Artikel terkait



0 komentar:

Posting Komentar

Jangan lupa di like ya.......