Minggu, 13 Februari 2011

menangis untuk adikku

Aku dilahirkan di sebuah dusun
pegunungan yang sangat terpencil. Hari demi hari,
orangtuaku membajak tanah kering kuning, dan punggung
mereka menghadap ke langit. Aku mempunyai seorang
adik, tiga tahun lebih muda dariku.

Suatu ketika, untuk membeli sebuah sapu tangan yang
mana semua gadis di sekelilingku kelihatan membawanya,
aku mencuri lima puluh sen dari laci ayahku. Ayah
segera menyadarinya. Beliau membuat adikku dan aku
berlutut di depan tembok, dengan sebuah tongkat bambu
di tangannya.

"Siapa yang mencuri uang itu?" beliau bertanya. Aku
terpaku, terlalu takut untuk berbicara.


Ayah tidak mendengar siapapun mengaku, jadi beliau
mengatakan, "Baiklah, kalau begitu, kalian berdua
layak dipukul!"

Dia mengangkat tongkat bambu itu tinggi-tinggi.
Tiba-tiba, adikku mencengkeram tangannya dan berkata,
"Ayah, aku yang melakukannya! "

Tongkat panjang itu menghantam punggung adikku
bertubi-tubi. Ayah begitu marah, sehingga ia terus
menerus mencambukinya sampai beliau kehabisan nafas.

Sesudahnya, beliau duduk di atas ranjang batu bata
kami dan memarahi, "Kamu sudah belajar mencuri dari
rumah sekarang, hal memalukan apa lagi yang akan kamu
lakukan di masa mendatang? Kamu layak dipukul sampai
mati! Kamu pencuri tidak tahu malu!"

Malam itu, ibu dan aku memeluk adikku dalam pelukan
kami. Tubuhnya penuh dengan luka, tetapi ia tidak
menitikkan air mata setetes pun. Di pertengahan malam
itu, aku tiba-tiba mulai menangis meraung-raung.
Adikku menutup mulutku dengan tangan kecilnya dan
berkata, "Kak, jangan menangis lagi sekarang. Semuanya
sudah terjadi."

Aku masih selalu membenci diriku karena tidak memiliki
cukup keberanian untuk maju mengaku. Bertahun-tahun
telah lewat, tapi insiden tersebut masih kelihatan
seperti baru kemarin. Aku tidak pernah akan lupa
tampang adikku ketika ia melindungiku. Waktu itu,
adikku berusia 8 tahun. Aku berusia 11.

Ketika adikku berada pada tahun terakhirnya di SMP, ia
lulus untuk masuk ke SMA di pusat kabupaten. Pada saat
yang sama, aku diterima untuk masuk ke sebuah
universitas propinsi.

Malam itu, ayah berjongkok di halaman, menghisap rokok
tembakaunya, bungkus demi bungkus. Aku mendengarnya
memberengut, "Kedua anak kita memberikan hasil yang
begitu baik. Hasil yang begitu baik."

Ibu mengusap air matanya yang mengalir dan menghela
nafas, "Apa gunanya? Bagaimana mungkin kita bisa
membiayai keduanya sekaligus?"

Saat itu juga, adikku berjalan keluar ke hadapan ayah
dan berkata, "Ayah, saya tidak mau melanjutkan sekolah
lagi, saya telah cukup membaca banyak buku."

Ayah mengayunkan tangannya dan memukul adikku pada
wajahnya. "Mengapa kau mempunyai jiwa yang begitu
keparat lemahnya? Bahkan jika berarti ayah mesti
mengemis di jalanan, ayah akan menyekolahkan kamu
berdua sampai selesai!" Kemudian ia mengetuk setiap
rumah di dusun itu untuk meminjam uang.

Aku menjulurkan tanganku selembut yang aku bisa ke
muka adikku yang membengkak. Aku berkata, "Seorang
anak laki-laki harus meneruskan sekolahnya. Kalau
tidak, ia tidak akan pernah meninggalkan jurang
kemiskinan ini." Aku, sebaliknya, telah memutuskan
untuk tidak lagi meneruskan ke universitas.

Siapa sangka keesokan harinya, sebelum subuh datang,
adikku meninggalkan rumah dengan beberapa helai
pakaian lusuh dan sedikit kacang yang sudah mengering.
Dia menyelinap ke samping ranjangku dan meninggalkan
secarik kertas di atas bantalku, "Kak, masuk ke
universitas tidaklah mudah. Saya akan pergi mencari
kerja dan mengirimmu uang."

Aku memegang kertas tersebut di atas tempat tidurku,
dan menangis dengan air mata bercucuran sampai suaraku
hilang. Tahun itu, adikku berusia 17 tahun. Aku 20.

Dengan uang yang ayahku pinjam dari seluruh dusun, dan
uang yang adikku hasilkan dari mengangkut semen pada
punggungnya di lokasi konstruksi, aku akhirnya sampai
ke tahun ketiga di universitas.

Suatu hari, aku sedang belajar di kamarku, ketika
teman sekamarku masuk dan memberitahukan, "Ada seorang
penduduk dusun menunggumu di luar sana!" Mengapa ada
seorang penduduk dusun mencariku?

Aku berjalan keluar dan melihat adikku dari jauh,
seluruh badannya kotor tertutup debu semen dan pasir.
Aku menanyakannya, "Mengapa kamu tidak bilang pada
teman sekamarku kalau kamu adalah adikku?"

Dia menjawab, tersenyum, "Lihat bagaimana
penampilanku. Apa yang akan mereka pikir jika mereka
tahu saya adalah adikmu? Apa mereka tidak akan
menertawakanmu? "

Aku merasa terenyuh, dan air mata memenuhi mataku. Aku
menyapu debu-debu dari adikku semuanya, dan
tersekat-sekat dalam kata-kataku, "Aku tidak perduli
omongan siapa pun! Kamu adalah adikku apapun juga!
Kamu adalah adikku bagaimana pun penampilanmu. "

Dari sakunya, ia mengeluarkan sebuah jepit rambut
berbentuk kupu-kupu. Ia memakaikannya kepadaku, dan
terus menjelaskan, "Saya melihat semua gadis kota
memakainya. Jadi saya pikir kamu juga harus memiliki
satu."

Aku tidak dapat menahan diri lebih lama lagi. Aku
menarik adikku ke dalam pelukanku dan menangis dan
menangis. Tahun itu, ia berusia 20. Aku 23.

Kali pertama aku pulang ke rumah setelah menghadiri
undangan pernikahan seorang teman, kaca jendela yang
pecah telah diganti, dan kelihatan bersih di
mana-mana. "Bu, ibu tidak perlu menghabiskan begitu
banyak waktu untuk membersihkan rumah kita!"

Tetapi katanya, sambil tersenyum, "Itu adalah adikmu
yang pulang awal untuk membersihkan rumah ini.
Tidakkah kamu melihat luka pada tangannya? Ia terluka
ketika memasang kaca jendela baru itu."

Aku masuk ke dalam ruangan kecil adikku. Melihat
mukanya yang kurus, seratus jarum terasa menusukku.
Aku mengoleskan sedikit salep pada lukanya dan
membalut lukanya. "Apakah itu sakit?" aku
menanyakannya.

"Tidak, tidak sakit. Kamu tahu, ketika saya bekerja di
lokasi konstruksi, batu-batu berjatuhan pada kakiku
setiap waktu. Bahkan itu tidak menghentikanku bekerja
dan..." Di tengah kalimat itu ia berhenti.

Aku membalikkan tubuhku memunggunginya, dan air mata
mengalir deras turun ke wajahku. Tahun itu, adikku 23.
Aku berusia 26.

Ketika aku menikah, aku tinggal di kota. Seringkali
suamiku dan aku mengundang orangtuaku untuk datang dan
tinggal bersama kami, tetapi mereka tidak pernah mau.
Mereka mengatakan, sekali meninggalkan dusun, mereka
tidak akan tahu harus mengerjakan apa. Adikku tidak
setuju juga, dia mengatakan, "Kak, jagalah mertuamu
saja. Saya akan menjaga ibu dan ayah di sini."

Saat Suamiku menjadi direktur pabriknya. Kami
menginginkan adikku mendapatkan pekerjaan sebagai
manajer pada departemen pemeliharaan. Tetapi adikku
menolak tawaran tersebut. Ia bersikeras memulai
bekerja sebagai pekerja reparasi.

Suatu hari, ketika adikku sedang di atas sebuah tangga
untuk memperbaiki sebuah kabel, ia mendapat sengatan
listrik, lalu masuk rumah sakit.

Suamiku dan aku pergi menjenguknya. Melihat gips putih
pada kakinya, aku menggerutu, "Mengapa kamu menolak
menjadi manajer? Manajer tidak akan pernah harus
melakukan sesuatu yang berbahaya seperti ini. Lihat
kamu sekarang, luka yang begitu serius. Mengapa kamu
tidak mau mendengar kami sebelumnya?"

Dengan tampang yang serius pada wajahnya, ia membela
keputusannya. "Pikirkan kakak ipar, ia baru saja jadi
direktur, dan saya hampir tidak berpendidikan. Jika
saya menjadi manajer seperti itu, berita seperti apa
yang akan dikirimkan?"

Mata suamiku dipenuhi air mata. Kemudian keluar
kata-kataku yang sepatah-sepatah, "Tapi kamu kurang
pendidikan juga karena aku!"

Lalu ia berkata, "Mengapa membicarakan masa lalu?"
Adikku menggenggam tanganku. Tahun itu, ia berusia 26
dan aku 29.

Adikku kemudian berusia 30 ketika ia menikahi seorang
gadis petani dari dusun itu. Dalam acara
pernikahannya, pembawa acara perayaan itu bertanya
kepadanya, "Siapa yang paling kamu hormati dan
kasihi?"

Tanpa berpikir, ia menjawab, "Kakak saya."

Ia melanjutkan dengan menceritakan kembali sebuah
kisah yang bahkan tidak dapat kuingat. "Ketika saya
pergi sekolah SD, sekolah kami ada di dusun yang
berbeda. Setiap hari kakak dan saya berjalan selama
dua jam untuk pergi ke sekolah dan pulang ke rumah.
Suatu hari, Saya kehilangan satu dari sarung tanganku.
Kakakku memberikan satu dari kepunyaannya. Sedangkan
ia hanya memakai satu saja dan berjalan sejauh itu.
Ketika kami tiba di rumah, tangannya begitu gemetaran
karena cuaca yang begitu dingin sampai ia tidak dapat
memegang sumpitnya. Sejak hari itu, saya bersumpah,
selama saya masih hidup, saya akan menjaga kakakku dan
baik kepadanya."

Tepuk tangan membanjiri ruangan itu. Semua tamu
memalingkan perhatiannya kepadaku. Kata-kata begitu
susah kuucapkan keluar bibirku, "Dalam hidupku, orang
yang paling aku berterima kasih adalah adikku."

Dan dalam kesempatan yang paling berbahagia ini, di
depan kerumunan perayaan ini, air mata bercucuran
turun dari wajahku seperti sungai.





Diterjemahkan dari "I Cried for My Brother Six Times"
(terima kasih untuk lintang panjer sore yang telah mengirimkan cerpen ini via inbox on facebook)
share on facebook

Artikel terkait



3 komentar:

obat herbal penyakit gagal ginjal mengatakan...

hubungan kakak adik yang sangat harmonis

obat herbal penyakit kelenjar getah bening mengatakan...

good post ..
terus berkarya gan

stroom mengatakan...

matur thankyu buat agan agan sekalian yang sudah sudi mampir......
salam kenal....

Posting Komentar

Jangan lupa di like ya.......