Rabu, 23 Februari 2011

memoar cinta sang demonstran

Wanita itu berkali-kali melihat jam tangannya, waktu menunjukan pukul 13.00. Dari wajahnya terlihat kegusaran, dia melipat mukenanya dan kemudian bergabung dengan teman-temannya di teras Mushola.
Dari jauh terdengar lamar pekik para mahasiswa dan orator mulai berbicara. Semua yang ada di teras Mushola tersebut diam dan hanyut dalam lamunan masing-masing, sekali lagi wanita itu melihat jam tangannya, pukul 13.30.
Tiba-tiba wajahnya yang sejak awal memang penuh kegaulan tersenyum kecil ketika beberapa lelaki yang menggunakan jas alamamater berjalan ke arah Mushola. Seorang lelaki dengan mata lebam tersenyum kecil kearahnya dan seketika itu juga senyum di wajahnya menghilang.
“Mas kamu kenapa?” tanyanya dengan nada serak, bulir air mata membahasi ujung matanya.
Lelaki yang dituju hanya menjawab pertanyaan tersebut dengan sebuah senyuman, senyum khas yang selalu dia berikan ketika dia harus menjawab sebuah pertanyaan yang jawabannya “all is well.” Seketika itu juga Santi menangis.
Sudah satu pekan ini pemberitaan di media masa gencar memperbincangkan pesimisme masyarakat kepada Presidennya yang ternyata di paruh kedua masa jabatannya tidak dapat menunujukan sebuah kemajuan seperti janji dan senyumnya di masa kampanye.
Dana kampanye yang menurut perhitungan kasat mata seharga sewa 5 bus ful body painting gambar partai untuk keliling Indonesia selama satu minggu, mendatangkan artis ibu kota dengan kulitas panggung nomor wahid, memberi makan tim hore yang jumlahnya ratusan, belum ditambah anggaran tata rias dan menggubah lagu. Semua itu secara logika tidak sebanding dengan gajinya yang sebulan adalah 60 juta.
Pernah dalam sebuah pemberitaan di media masa aliansi buruh dan petani miskin desa turun dengan jumlah masa ratusan di depan istana tetapi tanggapan yang diberikan pemerintah hanya sebuah pidato normatif diselilingi optimisme yang menggebu-gebu, rakyat marah, anarkis, rakyat melawan aparat.
“Dek mas Insyaallah mau berangkat ke Jakarta,Rabu besok” Lelaki itu memulai pembicaraan disebuah sudut kampus.
“Mas nagapain ke Jakarta jangan bilang mau turun aksi ya, mas kan udah janji gak bakal turun kasi lagi,” Raut wajah Santika berubah cemberut.
“Dek, kondisi saat ini mengahruskan mas turun. Ingat kan berita terakhir bentrokan aparat dan aliansi buruh-petani” Arda menjawab dengan dihiasi sebuah senyum khasnya.
“Dek saat ini tekat mas sudah bulat adik hanya punya dua pilihan ikhlaskan mas pergi berangkat atau tidak tetapi mas tetap berangkat,” lanjutnya.
“Mas selalu begitu kapan mas memikirkan diri mas sendiri, inget mas semester terkhir dan mas punya tanggungan lulus,” sanggah santika, seketika itu juga dia berdiri dan pergi sambil menangis.
Kerapuhan adalah hal terindah bagi seorang wanita, wanita yang tegar memang menarik tetapi wanita yang rapuh lebih memiliki nilai kelembutan bagi seorang Arda, lelaki “gila” yang hampir menghabiskan sebagian waktunya di kampus untuk turun ke jalan, aksi.
Malam itu ratusan mahasiswa berkumpul di stasiun untuk berangkat ke Jakarta, Andra seperti biasa menggunakan pakaian dinas aksinya. Singlet dengan celana panjang jeans yang robek dibagian lutut dan menurut rumor celana itu tidak pernah dia cuci sejak pertama kali digunakan untuk aksi di semester satu.
“Mas aku ngijinin kamu berangkat aksi dengan syarat aku juga ikut dan mas dilarang jadi korlap inget mas hanya boleh jadi peserta biasa, kali ini saja mas turuti keinginan adik,” Kata Santika di sebuah pagi sebelum keberangkatan.
Dan seperti biasa Arda hanya menjawab dengan sebuah senyum khasnya.
Saat ini aksi mahasiswa di depan istana sudah memasuki hari kedua. Ratusan mahasiswa dari berbagai perguruan tinggi di Seluruh Indonesia turun. Banyak pengamat menganggap bahwa ini merupakan gelombang reformasi kedua setelah 98, tetapi mahasiswa menganggap bahwa ini bukanlah aksi makar dengan tuntutan menurunkan Presiden yang diinginkan mahasiswa saat ini adalah Presiden mencopot menteri-menteri yang korup sebagai bentuk ketegasan dia sebagai seorang Pemimpin.
“Hidup mahasiswa, hidup rakyat Indonesia,” teriak Arda di awal orasinya sekaligus membuka aksi pada saat itu.
“Saat ini pemerintah kita dipenuhi orang-orang korup, dipenuhi dengan para penjahat, moral mereka adalah moral korup, moral biadab warisan zaman kolonial…” lanjutnya, sebagai seoarang korlap Arda memang terkenal akan orasinya yang pedas. Pernah suatu kali dia harus berhadapan dengan preman hanya karena orasinya secara terang-terangan menyerang salah satu calon.
“Mas beneran mata mas gak apa-apa?” tanya Santika sekali lagi khawatir.
Tiba-tiba Arda mengusap lembut kerudung Santika, hal yang selama ini tidak pernah di lakukan oleh Arda apalagi di depan umum, dan dia tersenyum sembari bangkit dan berlari kearah kerumunan.
Kali ini Santika merasakan sesuatu yang berbeda dari senyum itu, senyum yang tidak biasa. Senyum yang maknanya adalah sebuah perpisahan dan ucapan terimakasih.
Jum’at pagi head line media masa memberitakan meninggalnya seorang demonstran pada Kamis malam ketika aparat melalui perintah Presiden memaksa masa mahasiswa untuk mundur. Bentrokan tak bisa dihindarkan, seorang demonstran meninggal di jalan juangnya ketika salah seorang aparat yang kalap menembakan timah panas kearahnya.
Hari Jumat itu seluruh mahasiswa hanya berdiri di depan istana menanti keputusan apa yang akan di lakukan oleh Presiden, segala perasaan bergejolak, banyagan tragedi Tri Sakti membakar amarah mereka, hanya saja Tuhan Mahas Kuasa dengan hujan Dia menenangkan hati para mahasiswa, dalam isak tangis langit seorang wanita terus menangis.
“Saya dengan tegas menuntut kepada pihak berwajib untuk menangani kasus ini, jika memang terbukti bersalah maka aparat tersebut harus di hukum sesuai dengan peraturan yang berlaku karena kita sebagai bangsa Indonesia adalah bangsa yang berdiri diatas hukum…” sambut Presiden pada hari jumat itu berkenean dengan meninggalnya seorang demonstran di depan istana negara.
Tuhan Maha Kuasa, hujan tersebut bukanlah air yang meredamkan api amarah di dalam diri para mahasiswa. Mereka diam untuk menarik nafas, mereka duduk untuk mengumpulkan tenaga, mereke mengis bukan karena lemah. Saat itu juga ratusan mahasiswa yang dipenuhi perasaan kecintaan pada bangsa ini merangsek maju untuk masuk ke dalam istana.
Jakarta, 21 Mei 2011 seperti Jakarta 21 Mei 1998.
“Dan kami adalah kaum-kaum yang berdiri atas nama keadilan,
Kami adalah kami yang terus berjuang atas nama rakyat,
Suara kami adalah suara rakyat,
Tangan kami adalah tangan rakyat,
Hati kami adalah suara hati rakyat,
Dan jalan ini adalah jalan perjuangan rakyat” Santika berdiri di atas mobil sound dan membacakan sajak yang biasa dibacakan oleh Arda dalam setiap aksinya.
“Hidup mahasiswa, Hidup rakyat Indonesia,” teriaknya.

share on facebook

Artikel terkait



0 komentar:

Posting Komentar

Jangan lupa di like ya.......